Pasokan Pupuk Bersubsidi Belum Tepat Sasaran

Sekitar 2,4 juta petani dengan lahan garapan maksimum 2 hektar tidak bisa mengakses pupuk bersubsidi. Hal ini terjadi karena mereka belum tergabung dalam kelompok tani. Kebijakan Pemerintah mulai 1 Januari 2009 menetapkan sistem distribusi tertutup untuk pupuk bersubsid, yaitu untuk mendapatkan pupuk bersubsidi petani harus tergabung dalam kelompok tani, dan mengisi kebutuhan pupuknya dalam rencana definitif kebutuhan kelompok (RDKK).

Asal mula Pemerintah menetapkan kebijakan tersebut disebabkan sistem pengawasan distribusi pupuk dari Pemerintah kepada masyarakat masih lemah. Selama ini Pemerintah masih beranggapan bahwa semua pupuk berasal dari Pemerintah akan langsung menuju distributor dan dari distributor lanjut ke petani. Tetapi fakta di lapangan masih banyak pupuk bersubsidi yang seharusnya ke petani dialihkan ke lahan perkebunan milik orang kaya. Demikian pendapat Ir. Widodo, M.P Dosen Agribisnis, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) saat berdiskusi mengenai “Pupuk Bersubsidi, Baiknya Untuk Siapa?”, Rabu (7/1) di UMY.

Widodo menambahkan permasalahan kedua terkait dengan pupuk bersubsidi ini adalah perkiraan kebutuhan petani di setiap wilayah yang tertuang dalam RDKK belum akurat. Masih banyak petani yang mengeluhkan bahwa alokasi pupuk tidak mencukupi untuk setiap musim tanamnya, sehingga jalan yang digunakan petani adalah menggunakan alokasi pupuk daerah lain untuk menutupi kekurangannya, ujar Widodo. Dia mencontohkan, di wilayah X dan Y kebutuhan pupuk sama untuk setiap musim sebesar 30.000 ton. Ternyata di wilayah Y hanya membutuhkan pupuk 10.000 ton, sedangkan kebutuhan pupuk di wilayah X kurang sehingga wilayah X mengambil sisa kebutuhan pupuk yang dimiliki wilayah Y, itulah yang terjadi di lapangan saat ini.

Dalam diskusi yang diikuti semua mahasiswa fakultas pertanian UMY ini Widodo memberikan solusi mengenai kebijakan Pemerintah yang belum menyelesaikan masalah pupuk bersubsidi ini. “Seharusnya Pemerintah membedakan antara pupuk bersubsidi yang diperuntukkan bagi petani, dan pupuk yang tidak bersubsidi bagi perkebunan”, kata Widodo. Misalnya dengan membedakan merk dan warna kemasan yang digunakan, sehingga petani yang seharusnya membeli pupuk bersubsidi tidak terkecoh dengan pupuk tidak bersubsidi, tambahnya. Ketika kebijakan tersebut sudah diberlakukan, pengawasan yang dilakukan bukan lagi dari pemerintah tetapi masyarakat juga akan mengawasi jual-beli pupuk bersubsidi tersebut, kata Widodo.

Terakhir, mengenai RDKK Widodo berkomentar alokasi RDKK yang ada di setiap daerah lewat dinas. Belum ada acuan standar untuk pengalokasian pupuk bersubsidi di tingkatan daerah masih banyak lahan yang digarap oleh petani, bukan lahan miliknya. Contohnya, petani X menggarap lahan empat hektar tetapi lahan yang dimilikinya hanya satu hektar dan tiga hektarnya dimiliki orang lain. Itulah kelemahan kebijakan pemerintah untuk pupuk bersubsidi ini, tegas Widodo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar