
JAKARTA - Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) menyesali kebijakan pemerintah yang memutuskan untuk menerapkan distribusi pupuk bersubsidi secara tertutup mulai 1 Januari lalu. Kebijakan tersebut dinilai kontraproduktif dan menyusahkan petani.
Sekretaris Jenderal HKTI Rachmat Pambudy menuturkan, alih-alih kebijakan tersebut dapat mengatasi masalah kelangkaan petani, justru dapat mengganggu fokus perhatian petani dalam mengolah lahannya.
Soalnya, distribusi pupuk secara tertutup tersebut didasarkan pada basis penghitungan kebutuhan pupuk petani berdasarkan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok Tani (RDKK).
Artinya, petani yang tidak mengisi RDKK dipastikan tidak akan mendapatkan pupuk bersubsidi. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi untuk Pertanian Tahun Anggaran 2009. Selain mesti mengisi RDKK, peraturan tersebut juga mengharuskan petani untuk menjadi anggota kelompok tani.
"Kami bertanya kenapa distribusi pupuk mesti dilakukan tertutup? Seharusnya kan dibiarkan terbuka saja, yang mesti dibuat itu adalah aturan yang masuk akal agar tidak terjadi distorsi di pasar. Masak petani harus mendaftar, padahal petani kan sudah sibuk mengurus padi dan sawahnya, seharusnya kan pemerintah yang harus melayani petani," ucapnya saat dihubungi okezone, Jumat (2/1/2009).
Kalau pemerintah ingin mengatasi kelangkaan pupuk, hal itu dinilai baik, asalkan jangan menyulitkan petani. Menurut Rachmat, masih ada alternatif lain untuk mengatasi kelangkaan pupuk tersebut. Semisal, dengan melakukan berbagai cara untuk meningkatkan produksi.
"Pupuk tersebut jangan dibuat langka. Karena kalau langka pasti ada penyelewengan. Jadi pemerintah harus menjamin kecukupan pupuk bersubsidi, berapa yang dibutuhkan dan berapa yang akan didistribusikan. Jangan pas-pas saja apalagi kalau kurang. Kalau pupuk kurang kan berarti harus diawasi dengan ketat supaya tidak terjadi penyelewengan," ujarnya.
Selain itu, menurut Rachmat, cara lain yang bisa ditempuh untuk mengatasi kelangkaan adalah dengan membuat perbedaan secara fisik antara pupuk bersubsidi dan pupuk nonsubsidi. Yakni, dengan memberi warna pada pembungkus pupuk bersubsidi.
"Dan itu sudah ada contohnya seperti yang dilakukan Pupuk Kujang. Selain itu, pemberian warna tersebut juga bisa meningkatkan efisiensi, semisal pada pupuk urea yang sifatnya mudah menguap," ujar Rachmat.
Menurut perhitungan HKTI, pada 2009 seharusnya pemerintah menyediakan pupuk bersubsidi sekira enam juta ton untuk 13 juta rumah tangga petani (RTP) padi dan lainnya, seperti kedelai dan Jagung. Sementara, pemerintah diperkirakan hanya bisa memproduksi 4,4 juta ton.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar