Mulai 1 Januari 2009, pemerintah menetapkan sistim distribusi tertutup untuk pupuk bersubsidi. Dengan demikian untuk mendapatkan pupuk, petani harus bergabung dalam kelompok tani dan mengisi kebutuhan pupuknya dalam Rencana Definitip Kebutuhan Kelompok (RDKK). Hanya petani dengan lahan garapan maksimum 2 hektar yang mendapatkan pupuk bersubsidi.
Sebagai kebijakan baru, sudah tentu masih memerlukan tantangan di sana sini. Antara lain :
Pertama, belum semua petani bergabung dalam kelompok tani. Data menunjukkan masih ada sekitar 2,4 juta petani. Kalau petani tidak bergabung dalam Gapoktan maka praktis tidak bisa mengakses pupuk bersubsidi. Kita mendukung upaya proaktif dari Pusat Pengembangan Penyuluhan Pertanian yang telah mengadakan pendataan sekitar 300 ribu kelompok tani yang tergabung dalam 20 ribu Gapoktan. Data ini memuat nama petani, nama kelompok tani, luas lahan dan komoditi usaha taninya. Kiranya Pusbangluhtan yang memiliki ribuan penyuluh pertanian dapat menjadikan kegiatan ini sebagai “program percepatan“. Cara cara seperti sebenarnya ini sudah pernah diterapkan pada system BIMAS yang mengantarkan Indonesia meraih swasembada beras. Pada masa itu setiap menjelang musim tanam, para penyuluh secara teratur dari satu kelompok ke kelompok lain secara proaktif membimbing kelompok tani menyusun RDKK. Harus diakui bahwa pola RDKK ini butuh kerja administratif yang sangat “nyelimet”, tetapi dengan sikap pengabdian bukanlah menjadi masalah yang serius. Biarlah dengan system ini, para penyuluh melihatnya sebagai wahana akselerasi revitalisasi penyuluhan pertanian sekaligus dapat digunakan penyuluh sebagai sarana pemberdayaan kelompok tani. Jangan lagi ada petani yang tidak mendapatkan pupuk karena tidak menyusun RDKK. Biarlah itu menjadi tanggungjawab para penyuluh.



